Desain Bersahaja pada Sampul Majalah Jawa – Sampai hari ini ternyata masih ada juga teriakan idealisme dari tanah Jawa. Sebuah teriakan yang mungkin sekarang sudah tidak lagi didengar oleh mereka yang muda. Teriakan itu berbahasa Jawa dan berwujud sebuah majalah. Majalah sebagai salah satu media massa adalah bagian dari kebudayaan manusia. Zeitgeist atau semangat jaman terpotret dengan jelas lewat terbitan majalah dari waktu ke waktu.
Desain Bersahaja pada Sampul Majalah Jawa
lolapress – Sebagai salah satu media massa cetak, majalah memiliki segmentasi pembaca yang lebih spesifik daripada koran. Majalah menjadi media yang paling kentara dalam penawaran ideologi. Ada sebuah majalah yang mengkhususkan diri kepada gaya hidup pria urban, majalah otomotif, majalah game, majalah fotografi, majalah desain dan masih banyak lagi.
Melansir dgi.or.id, Pada umumnya majalah-majalah yang terbit di Indonesia menggunakan bahasa Indonesia dalam setiap tulisannya. Akan tetapi, ada pula majalah yang menggunakan bahasa daerah. Meskipun terdengar janggal di masa ini, namun nyatanya majalah berbahasa daerah masih bisa terpajang di kios-kios majalah hingga saat ini. Di Jawa Barat ada majalah Mangle yang berbahasa Sunda. Di Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur) setidaknya masih ada empat majalah berbahasa Jawa yang masih terbit di Indonesia. Panjebar Semangat dan Jaya Baya terbit di Surabaya, Mekar Sari dan Djaka Lodang terbit di Yogyakarta serta Damar Jati terbit di Jakarta. Rata-rata oplah majalah ini di bawah 10.000 eksemplar.
Baca juga : Gambo Muba Jadi Sampul Majalah Internasional di Australia
Munculnya majalah berbahasa Jawa sebenarnya sudah sejak masa pra kemerdekaan. Penjebar Semangat misalnya, sudah terbit sejak 1933 sampai sekarang. Majalah ini didirikan dr. Soetomo sebagai media agitasi untuk menyampaikan berita-berita seputar kemerdekaan. Munculnya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa ilmu pengetahuan di Indonesia, tentu saja menyebabkan majalah harus terbit dengan bahasa Indonesia. Meski suku Jawa yang masih (mampu) berbahasa Jawa cukup banyak (sekitar 60 persen dari 220 juta rakyat Indonesia adalah suku Jawa), mereka bukan potensi pasar majalah bahasa Jawa1. Pertanyaan lebih lanjut, mengapa majalah-majalah ini masih saja terbit jika oplahnya saja sangat minim? Salah satu argumen yang bisa dijelaskan mungkin adalah masalah ideologi majalah (baca: ideologi Jawa).
Dalam tulisan ini saya mencoba menyoroti majalah Djaka Lodang yang terbit di Jogja sejak 1 Juni 1971. Majalah ini menggunakan bahasa Jawa Ngoko2 baku seperti yang biasa dipakai di pusat kebudayaan Jawa (Yogyakarta dan Surakarta). Djaka Lodang bertiras 10.0003 eksemplar ini tetap terbit kala media sejenis gulung tikar, bahkan bila tak ada satupun iklan bertengger. Salah satu rubrik yang paling populer adalah, Jagading Lelembut (dunia hantu), menjadi legendaris berkat konsistensinya menghadirkan cerita hantu.
Desain Apa adanya YANG NJAWANI
Bila kita sesekali mencermati visual pada sampulnya saja, tidak hanya keluguannya yang tidak berubah- ubah hingga hendak terdapat keadaan yang dapat dipelajari dari situ. Dalam majalah Djaka Lodang misalnya, paling tidak terdapat 3 bagian visual yang menarik buat dipertanyakan kehadirannya dalam bungkus majalah itu, ialah gambar bentuk, logo versi serta rubrik jagading lelembut( bumi makhluk halus).
Sebab aku pergi dari anggapan kalau suatu majalah merupakan suatu aplikasi ideologis, hingga seluruh bagian visual itu hendak dibaca dengan akal pandangan hidup. Dalam permasalahan ini, pasti saja kerangka pandangan hidup yang digunakan merupakan pandangan hidup Jawa. Dalam uraian yang besar, pandangan hidup dapat dimaknai selaku seluruh sistem yang membagikan arah pada orang( agama ataupun keyakinan ataupun pemikiran hidup).
Pandangan hidup Jawa berhubungan dengan pemikiran hidup orang Jawa, gimana metode orang Jawa berdekatan serta memaknai kenyataan bumi. Bagi Magnis- Suseno( 1991), orang Jawa4 memandang kenyataan tidak dipecah ke dalam aspek yang terpisah- pisah serta tanpa ikatan antara satu dengan yang yang lain, melainkan kalau kenyataan jadi suatu kesatuan yang global. Uraian ini pasti amat berlainan dengan uraian Eropa yang merelaikan antara bumi, warga serta alam adikodrati. Dalam pandangan hidup Jawa ketiga perihal itu dikira selaku suatu kesatuan pengalaman.
1. Logo Edisi
Jadi suatu persoalan tertentu kenapa penjaga majalah merasa butuh buat memplesetkan ikon istana jadi suatu logo versi pada bungkus Djaka Lodang? Sementara itu bila diamati dari segmentasinya, Djaka Lodang tidaklah majalah buat kategori adiwangsa ataupun menengah ke atas. Djaka Lodang merupakan majalah buat warga biasa serta bisa jadi mengarah pada golongan menengah ke dasar.
Dengan artikulasi ilmu ciri( semiotik), logo versi ini melukiskan logo versi yang dengan cara konotasi mendekati dengan logo istana Yogyakarta. Bila majalah ini mengklaim diri selaku majalah kultur Jawa, hingga penjaga majalah seakan merasa butuh buat menunjukkan bagian visual yang berkonotasi pada kultur Jawa, ialah ikon istana.
Dengan akal othak- athik gathuk, timbulnya ikon istana bisa jadi dapat dimaknai selaku usaha buat buat mendekatkan diri dengan kewenangan. Statment ini pergi dari pemikiran kalau istana ialah pusat kehidupan warga Jawa. Istana apalagi sudah jadi pusat kultur Jawa. Hingga ikon istana seakan jadi ikon kultur Jawa yang legal serta menggantikan seluruh susunan warga.
Jadi timbulnya logo versi itu amat terpaut dengan perkara pandangan hidup Jawa, ialah pemikiran Jawa pertanyaan kewenangan. Gimana kewenangan raja ditatap selaku suatu yang membagikan ketentraman serta keselamatan kepada warga. Faktor raja jadi berarti buat muncul dalam suatu bungkus majalah kultur Jawa.
2. Foto Model
Bila memandang cetakan Djaka Lodang, hingga pemikiran hendak langsung tertuju pada gambar bentuk dengan wujud yang tidak populer. Wujud yang timbul pada bungkus beberapa besar memakai busana Jawa( kebaya, surjan ataupun beskap), tetapi sebagian menunjukkan wujud dengan pakaian modern serta pula tiap hari. Sosok- sosok itu bukanlah terkenal tetapi ialah banyak orang lazim dengan hasil sedang- sedang saja. Kemudian, persoalan kenapa wujud sejenis itu yang mencuat?
Bila ditilik dari pandangan hidup Jawa, gambar pada bungkus amat terpaut dengan perkara orang Jawa. Aku mencermati kedatangan sosok- sosok itu seakan jadi salah satu metode menguasai gimana Jawa memandang orang yang layak buat diteladani. Potret- potret yang timbul pada bungkus merupakan gambar individu Jawa yang lagi aktif mengarah kebersatuan antara hamba dengan Yang Ilahi( manunggaling abdi baginda).
Merujuk pada Magnis- Suseno( 1991), walaupun tujuan kesimpulannya merupakan pendapatan kebersatuan antara hamba dengan Tuhan, tetapi pengepresan dari pemikiran ini bukan pada hasil kesimpulannya. Rasa merupakan tolok ukur yang efisien kepada cara ini. Rasa yang diartikan merupakan perasaan dalam diri sendiri yang tentrem ing ingatan( ketentraman hati). Cara orang yang tentram dengan cara hati ini, pasti saja ingin tidak ingin jadi berselaras dengan bumi di sekelilingnya. Berselaras dengan kehidupan artinya tidak bermasalah dengan kehidupan. Potret- potret bentuk itu merupakan cerminan individu Jawa yang sanggup berselaras dengan kehidupan. Pribadi- pribadi yang timbul pada jadi bentuk bungkus merupakan individu dengan bermacam berbagai pekerjaan, semacam dalang, sinden, pemenang 3 festival dangdut, gerombolan pengibar bendera serta serupanya. Tetapi, yang nyata banyak orang yang tampak di mari bukan seseorang pesohor.
Cara- cara menjual majalah dengan meminjam pandangan figur populer yang dramatis, tampaknya tidak diaplikasikan majalah ini. Untuk majalah ini yang lebih berarti, gambar bungkus merupakan wujud yang menempuh keserasian hidup serta tidak berlawanan dengan keseimbangan kehidupan. Niels Mulder( 2001) dalam Mistisisme Jawa, menorehkan kalau kehidupan warga Jawa tampaknya memanglah tidak membagikan ruang untuk mimik muka individu terlebih untuk mimik muka penuh emosi yang tidak santun, memalukan serta ialah pelanggaran pribadi orang lain. Kehidupan sosial wajib dilindungi dari keadaan yang dapat mengganggu santun satun, jenjang serta keseimbangan. Pemikiran itu bisa jadi dapat menanggapi kenapa Djaka Lodang tidak menjual perpisahan Anang dengan Krisdayanti tetapi menjual gimana kehidupan dalang boneka yang samadya( apa adanya dan tidak mendesakkan diri menjajaki pandangan terkenal). Perihal ini pasti amat cocok dengan pemikiran Jawa pertanyaan orang itu.
Baca juga : Rekomendasi 9 Majalah Militer Terbaik 2021
3. Rubrik Jagading Lelembut
Judul karangan rubrik ini senantiasa timbul dalam bungkus majalah oleh sebab itu dapat diasumsikan kalau inilah rubrik yang jadi jualan penting majalah ini. Sementara itu rubrik ini tidaklah rubrik penting majalah ini. Perihal ini pasti saja memunculkan persoalan kenapa rubrik ini yang diseleksi buat diperlihatkan di bungkus serta jadi rubrik yang disukai pembacanya?
Bila dihubungkan dengan uraian Jawa pertanyaan kenyataan kehidupan, hingga makhluk halus dapat dimaknai selaku suatu yang dekat dengan rutinitas warga Jawa. Timbulnya nama- nama makhluk halus semacam dhemit, thuyul, memedi, lelembut merupakan fakta kalau arwah lembut merupakan sahabat warga. Roh- roh itu jadi bagian dari kenyataan kehidupan. Oleh sebab itu, rubrik ini digemari sebab narasi- narasi makhluk halus merupakan deskripsi yang berhubungan dengan pemikiran hidup Jawa. Narasi- narasi ini memiliki catatan akhlak serta pula etika yang ialah arahan hidup warga Jawa( amati Magnis- Suseno, 1991)